Jum'at, 16 November 2012 16:45 wib
Shofi Nurul Himmah. (Foto: dok. pribadi)
KALIMAT dari Presiden Indonesia pertama tersebut mungkin sudah terlalu sering disebutkan dalam berbagai tulisan maupun acara-acara bertema kepemudaan. Karena terlalu seringnya tersebut, bisa jadi semua pihak telah setuju bahwa kalimat tersebut menunjukkan betapa pada dasarnya pemuda berpotensi sangat besar bukan hanya untuk mempengaruhi diri dan lingkungannya, bahkan juga memberikan pengaruh besar pada dunia. Sayangnya kalimat sakti itu justru terlalu melenakan, mengaburkan kenyataan bahwa saat ini pemuda kita, pemuda Indonesia, sesungguhnya sedang berada pada titik kritis dininabobokan oleh anggapan bahwa pemuda bisa dengan mudah “mengguncang dunia”. Tetapi jangankan untuk mengguncang dunia, mempertahankan dirinya sendiri saja belum mampu. Jangankan untuk menentukan masa depan dunia, yang ada pemuda kita tanpa sadar telah terlalu jauh terbawa arus.
Tuntutan yang muncul kepada pemuda sebagai pemimpin masa depan kemudian tidak dapat dijawab dengan baik. Bahkan lebih dari itu, para pemuda kita mungkin belum sadar beban berat apa yang sedang diarahkan pada mereka. Hal yang kemudian mereka coba lakukan justru sibuk menikmati masa muda yang “hanya sekali” dan melupakan masa depan yang dengan pasti menanti di depan mereka. Parahnya, bukan hanya penyakit lupa kronis yang saat ini sedang diderita oleh para pemuda kita, moral yang akan sangat mereka butuhkan sebagai pemimpin di masa depan tidak dapat dimungkiri seolah telah menjadi barang klise yang sama sekali tidak berharga.
Dan sayangnya, senada dengan hal itu terdapat sekelompok happy selected few bernama mahasiswa yang hanya menambah panjang daftar calon pemimpin masa depan yang mengkhawatirkan. Dengan akses besar yang didapatkan oleh mahasiswa kepada ilmu pengetahuan, mahasiswa justru menjadi kelompok pertama yang secara sadar menutup mata dari beratnya tanggung jawab menjadi kelompok berpotensi yang dituntut menjadi bagian penting masyarakat. Mahasiswa sesungguhnya sadar ada yang harus diperjuangkan untuk masa depan bangsanya, tetapi ironisnya, mahasiswa tidak mau repot-repot untuk mengusahakan kepentingan bersama tersebut.
Hedonisme, apatisme, dan anarkisme menjadi stigma baru yang bahkan disadari oleh mahasiswa itu sendiri telah melabeli dirinya. Kelompok pertama menjadi kelompok yang sama persis dengan pemuda pada umumnya yang sibuk menikmati masa muda. Kelompok kedua menjadi “mahasiswa sejati” yang dibutakan oleh orientasi prospek kerja, mencari sebanyak mungkin celah menjadi profesional tanpa sedikit pun peduli pada masalah sosial bangsa Indonesia. Kemudian kelompok terakhir memiliki kesadaran penuh untuk memperjuangkan nasib bangsanya. Tetapi sayangnya kesadaran tersebut tidak dibarengi dengan kesadaran moral untuk beretika, yang ada justru kelompok ini diselubungi oleh euforia bahwa mahasiswa adalah pahlawan revolusi, yang ditakuti polisi, yang ditakuti pemerintah, tapi lupa bahwa pemerintah yang mereka jelek-jelekkan itu sekian tahun sebelumnya adalah teladan yang saat ini menjadi dasar dari arogansinya.
Secara konseptual, mahasiswa memiliki tiga peran utama yaitu agent of change, iron stock, dan moral force. Sayangnya ketiganya hanya menjadi simbol arogansi dan bahkan poin terakhir menjadi sebuah ironi. Kemudian Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat menjadi konsep usang yang dimaknai terlalu apa adanya. Pendidikan hanya dipahami sekadar aktivitas mendengarkan ceramah di dalam kelas. Penelitian mengalami pergeseran makna sehingga berorientasi materi. Dan Pengabdian Masyarakat direalisasikan dengan community service yang memposisikan masyarakat sebagai penerima bantuan mentah tanpa kesadaran akan pentingnya community development. Lantas jika sudah terlalu banyak pergeseran makna yang seharusnya ideal seperti ini, dengan menggantungkan nasib sepenuhnya pada pemuda - bahkan mahasiswa, sangat mungkin di masa depan kondisi bangsa Indonesia tidak akan pernah lebih baik dari hari ini.
Karena itu selain sebagai ladang ilmu pengetahuan, universitas seharusnya juga menjadi rumah pemikiran, laboratorium karya, sekaligus miniatur kehidupan bermasyarakat. Dengan begitu tidak akan lagi anggapan bahwa produk universitas adalah para koruptor. Selain itu mahasiswa akan lebih mudah untuk menjadi ideal secara pemikiran, nyata dalam berkarya, dan memiliki kepekaan tinggi terhadap kondisi sosial kemasyarakatan. Berdasarkan kenyataan hari ini, yakni mahasiswa memiliki moral yang cukup rapuh, universitas dapat difungsikan sebagai inkubator yang akan menjaga kerapuhan moral tersebut dan perlahan menguatkannya agar ketika waktunya tiba; mahasiswa dapat menjadi pemimpin dengan moral yang cukup untuk membawa bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Proses inkubasi itu sendiri dapat dimulai pada proses kaderisasi dan dilanjutkan pada aktivitas politik kampus.
Proses kaderisasi penting karena menjadi turning point perubahan seorang pemuda dari dunia sekolah ke dunia kampus yang lebih luas. Dalam tahapan ini seharusnya tumbuh idealisme yang akan membuka mata mahasiswa baru selebar-lebarnya mengenai realitas sosial yang terjadi di masyarakat dan menajamkan intuisinya untuk menemukan jalan keluar dari masalah-masalah yang ada. Selain proses pengenalan kepada bidang spesialisasinya masing-masing, mahasiswa baru seharusnya diberikan pemahaman mengenai peran dan fungsi sosialnya, tanggung jawabnya kepada masyarakat, dan beban menjadi pemimpin masa depan yang dialamatkan kepadanya.
Tetapi sayangnya, pada tahap ini justru yang seringkali terjadi adalah bukti ketidakdewasaan universitas beserta mahasiswanya yang tampak dalam cara orientasi mahasiswa baru. Dengan argumen untuk menumbuhkan keberanian, kekompakan, dan kepekaan, mahasiswa baru dibiasakan untuk melawan semua bentuk penindasan dengan cara keras. Tidak sepenuhnya salah memang, tetapi yang perlu disadari adalah bahwa hasil paling baik dari proses itu hanyalah mahasiswa yang reaktif terhadap permasalahan yang sudah klimaks. Sedangkan masalah-masalah sosial seringkali tampak dalam bentuk yang kurang bisa dikenali oleh mereka yang tidak peka. Maka jadilah kelompok anarkis, yang menunggu masalah menjadi headline media massa, untuk turun ke jalan membabi buta menyalahkan pihak-pihak yang berwenang. Dengan begitu tidak ada inisiatif dan upaya pencegahan awal, padahal jika sejak awal dikenali gejala-gejalanya, masalah sosial akan dapat diatasi dengan lebih mudah dan cara yang lebih baik.
Tahap berikutnya adalah aktivitas politik kampus yang seharusnya menjadi wadah pengembangan berpikir serta pendewasaan politik pada mahasiswa, meskipun pada kenyataannya yang terjadi adalah gejala awal pemanfaatan politik dalam mencapai kepentingan pribadi. Untuk itu dibutuhkan peran universitas dalam memastikan bahwa proses politik yang terjadi berjalan sehat. Proses ini menjadi proses inti dari inkubasi moral, karena diharapkan di masa depan ketika menjadi pemimpin mahasiswa telah terbiasa melakukan politik bermoral. Pada proses ini seharusnya sudah tidak ada lagi masalah apatisme karena telah diselesaikan pada tahap kaderisasi. Sehingga universitas bisa fokus mengawal mahasiswanya untuk berpikir cerdas dan kritis menanggapi masalah sosial yang ada, dan membentuk mahasiswanya menjadi pemimpin masa depan yang berkualitas.
Shofi Nurul Himmah
Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Airlangga
Sekretaris Kementerian Kebijakan Publik BEM KM Unair 2012
0 komentar:
Posting Komentar
Primaraya Perlu Kritik dan Saran Serta Komentar Anda